Materi BMP Public Speaking SKOM4312 Edisi 2 – Modul 1 Bagian 2
SEJARAH PUBLIC SPEAKING, BERAWAL DARI RETORIKA
Public speaking sebagai retorika, seni berbicara secara efektif, telah ada sejak awal peradaban manusia. Walau tidak dapat menyebutkan tahunnya dengan pasti, beberapa temuan dari masa peradaban kuno memperlihatkan keberadaan public speaking dalam masyarakat mereka.
William Hallo menelusuri bahwa retorika telah tercatat di Mesopotamia Kuno (yang sekarang menjadi lokasi negara Irak) sekitar 2285 tahun sebelum masehi (SM), dibuktikan dengan dokumentasi cerita mengenai para raja dan pendeta yang diukir di atas batu (Binkley & Lipson, 2004: 3).
Bukti lain keberadaan retorika juga dapat dilihat pada peninggalan Mesir Kuno, sekitar 2080 tahun sebelum masehi, berupa tulisan tentang aturan retorika (Hutto, 2002: 213). Aturan tersebut menyatakan bahwa "tahu kapan harus diam" adalah pengetahuan yang penting dalam retorika. Orang Mesir Kuno berpendapat bahwa menjaga keseimbangan antara kefasihan berbicara berbicara dengan kebijakan untuk diam adalah sebuah hal yang penting.
Retorika juga dapat dilacak sampai ke Daratan Cina pada ajaranKonfusius, filsuf Cina yang ajarannya berkembang menjadi agama Konghucu, yang menekankan pentingnya kefasihan dalam berbicara.
Sejarah retorika yang paling terkenal praktik public speaking dalam bentuk retorika telah banyak diterapkan dalam masyarakat Yunani Kuno. Pada masa itu keputusan yang menyangkut masyarakat diambil dalam sebuah rapat besar yang dihadiri para warga polis, kota- kota di Yunani yang biasanya dikelilingi oleh tembok benteng.
Orang yang berhak hadir dalam rapat tersebut dan memberi pendapat adalah warga polis yang tercatat secara hukum sebagai warga bebas, bukan budak maupun tahanan. Perubahan politik dari bentuk kerajaan menjadi bentuk demokrasi pada masa itu memang sangat mendorong kebebasan berbicara. Karena itu, kemampuan berbicara di depan umum menjadi penting untuk mempengaruhi keputusan-keputusan yang diambil dalam rapat atau pertemuan politik.
Praktik retorika juga terlihat di pengadilan Yunani kuno. Kedua pihak yang bertikai saling melemparkan argumen untuk mempengaruhi keputusan hakim dan juri untuk memenangkan mereka. Selain itu, para pemikir Yunani Kuno biasanya menyampaikan pemikiran mereka di depan publik dalam kompetisi mencapai kemasyhuran atau pengaruh politik. Kata retorika yang kita kenal didapat kata Yunani "rhetorike", yang melingkupi teori dan praktik berpidato di depan publik (Herrick, 2001: 34).
1. Kaum Sofis dan Retorika
Tidak heran bila pada masa itu dikenal guru-guru retorika yang berkelana dari satu kota ke kota lain, yang dikenal sebagai kaum Sofis. Kaum Sofis memiliki tiga kemampuan: berpidato di depan publik, menulis naskah pidato, dan mengajarkan cara melakukan retorika kepada orang lain.
Para guru ini mengajari para pengacara dan politisi Yunani Kuno untuk berbicara secara meyakinkan di pengadilan dan rapat politik. Mereka dikenal memiliki kemampuan berbahasa dan memukau publik dengan penampilan menarik serta pakaian berwarna-warni (Herrick, 2001: 34).
Beberapa guru retorika dari kaum Sofis mengaku mampu mengajarkan kemampuan menjadi pemimpin yang terdiri dari nilai-nilai positif, manajemen citra, dan pengembangan diri. Klaim ini dikritik oleh banyak orang Yunani masa itu karena mereka menganggap kualitas pemimpin adalah kualitas yang dimiliki sejak lahir atau karena pendidikan yang baik sejak lahir, hal yang biasanya dimiliki oleh kelompok bangsawan.
Reaksi negatif terhadap kaum Sofis antara lain juga karena kaum Sofis mengajarkan retorika kepada siapa pun yang bersedia membayar mereka, tidak harus dari kelompok bangsawan, biasanya dengan harga yang mahal hingga kaum Sofis biasanya kaya raya.
Praktik menjadi pengajar profesional yang dibayar, siapa pun muridnya, merupakan praktik yang lazim kita lakukan pada masa ini. namun pada masa Yunani Kuno praktik tersebut dianggap menyalahi norma pendidikan karena seharusnya pendidikan diberikan hanya pada mereka yang terpilih, berdasarkan karakter yang unggul dan latar belakang keluarga terpandang. Tentu saja, pengkritik kuat kaum Sofis karena alasan ini adalah para kaum bangsawan karena telah memusnahkan monopoli mereka akan keterampilan public speaking.
Terlepas dari kritik itu, kaum Sofis berjasa memopulerkan retorika sebagai keterampilan yang bisa dipelajari karena pada awalnya kemampuan retorika dianggap sebagai karunia dari para dewa dan tidak dapat dimiliki oleh semua orang. Kemampuan public speaking ini juga menjadikan kelas menengah secara ekonomi juga mampu berpartisipasi dalam politik, yang mendorong demokratisasi politik di Yunani Kuno, terutama di Athena, kota terbesar pada masa itu.
2. Para Guru Retorika Kaum Sofis
Guru dari kaum Sofis yang terkenal antara lain Gorgias (hidup sekitar 483-376 SM). Protagoras (481-420 SM), dan Isocrates (446-338 SM). Gorgias berpendapat bawa seorang pembicara retorika yang ahli dapat berbicara tentang topik apa pun secara meyakinkan, walau ia tidak memiliki banyak pengetahuan tentang topik tersebut.
Reputasi Gorgias dalam retorika sangat legendaris. Misalnya saja, ia berhasil mempengaruhi masyarakat Athena membangun sebuah patung emas untuk menghormati dirinya, sebuah praktik yang tidak pernah dilakukan masyarakat Athena bagi seorang pendatang (Gorgias berasal dari Leontini dan datang ke Athena sebagai duta besar kota tersebut).
Ada cerita bahwa Gorgias ternyata membiayai sendiri pembuatan patung tersebut. Kalau cerita tersebut benar, itu membuktikan betapa kayanya Gorgias sebagai pengajar retorika pada masa itu.
Gorgias juga sangat memperhatikan pemakaian bahasa dalam retorika. Ia percaya bahwa pemilihan kata tertentu yang diucapkan dengan cara tertentu akan sangat mempengaruhi publik pendengarnya.
Sampai sekarang pemikiran Gorgias masih terasa kebenarannya, misalnya saja pada salah satu pidato Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy, yang paling banyak dikutip orang: "Ask not what your country can do for you, ask what you can do for your country (jangan tanyakan apa yang dapat Negara berikan kepadamu, tetapi tanyakan apa yang dapat kamu berikan kepada Negara)" (Herrick, 2001: 41).
Permainan kata yang cantik dengan cara penekanan yang tepat masih memberikan efek persuasi bagi publik masa ini.
Baca juga: Filsafat Sebagai Sebuah Gagasan dan Wacana
Protagoras tercatat sebagai orang pertama yang memungut bayaran untuk mengajar retorika. Ia memberikan landasan filosofi bagi praktik retorika pada masa itu. Protagoras percaya bahwa kebenaran adalah apa yang orang percayai, relatif bagi setiap orang. Protagoras mengajarkan bahwa argumen dalam retorika harus disusun secara sistematik, terlepas dari kebenaran di dalamnya, demi mencapai kemenangan retorika.
Penyelesaian dari setiap masalah tergantung dari argumen pro-kontra yang ada dan argumen yang terbaiklah yang menawarkan solusi terbaik. Bagi Protagoras, seorang yang menguasai retorika adalah orang yang mampu menyusun argumen dengan mengantisipasi kontra argumen yang mungkin dilontarkan oleh lawannya.
Ajaran-ajaran Protagoras inilah yang dipakai oleh banyak kaum Sofis dan mengundang kritik atas moral mereka oleh banyak filsuf Yunani Kuno.
Isocrates, guru Sofis lainnya, lahir dari keluarga kaya hingga ia mendapat kesempatan menjadi murid filsuf besar Socrates (yang juga guru Plato), dan mungkin sempat menjadi murid Gorgias. Ia memulai kariernya sebagai penulis pidato, sebelum menjadi pengajar retorika. Isocrates mendirikan sekolah retorika pertama di Athena, kota terbesar pada masa Yunani Kuno. Isocrates berpendapat bahwa berbicara tentang topik yang luhur dan pertanyaan penting akan meningkatkan kualitas dari pembicara dan pendengarnya.
Ketertarikan utamanya adalah dunia politik. Karena itu, ia mengajarkan para muridnya bukan dengan tujuan supaya mereka menjadi pembicara yang pandai dan menarik, melainkan supaya mereka mampu mempengaruhi praktik politik di Athena.
Yang membedakan Isocrates dengan guru Sofis yang lain adalah ia menuntut supaya murid-muridnya memiliki standar moral yang tinggi. Ia mengakui bahwa tidak mungkin untuk mengajarkan tentang moralitas kepada siapa pun, karena itu ia hanya akan mengajar orang yang telah memiliki moralitas yang tinggi.
Namun Plato, seorang filsuf besar pada masa itu, mengecam cara-cara yang dipakai para Sofis karena memanfaatkan cara berbicara yang kelihatan menarik dan meyakinkan, tanpa peduli terhadap kebenaran isinya.
Bagi Plato, retorika hanyalah rayuan kosong yang menipu publik. Kecaman ini bergaung sampai sekarang saat kita mengatakan apa yang disampaikan seorang pengacara, politisi, pedagang atau siapa pun, tanpa memiliki kebenaran, sebagai "hanya retorika semata" (Griffin, 2003: 303).
Ketidaksukaan Plato dan filsuf-filsuf Yunani Kuno, terutama di Athena, terhadap kaum Sofis juga disebabkan kecurigaan mereka akan moral para kaum Sofis. Karena kaum Sofis sering berkelana dari satu kota ke kota lain, mereka tahu bahwa kepercayaan orang dari satu kota berbeda dengan orang dari kota lain.
Budaya, pernikahan, struktur sosial, bahkan sistem hukum setiap kota pertanyaan filosofi yang umum, sedang retorika ditujukan para masalah yang spesifik, bersifat praktis. Dialektika mencari kepastian akan kebenaran. sedang retorika memberikan kemungkinan-kemungkinan akan kebenaran. Jadi, retorika merupakan seni untuk mencari cara menampilkan suatu kebenaran pada publik.
B. PEMBUKTIAN RETORIKA
Pandangan Aristoteles tentang retorika tertuang dalam tiga buah buku. Buku pertama membahas tentang Pembicara, tentang apa yang harus dilakukan oleh Pembicara dalam retorika, terutama menyangkut kredibilitas Pembicara.
Buku kedua membahas tentang Publik yang dipercayai Aristoteles sebagai unsur terpenting dalam retorika. Publiklah yang menentukan keberhasilan retorika. Buku ketiga menyangkut bagaimana hadir dalam retorika, apa yang terjadi dalam proses retorika tersebut.
Buku-buku tersebut merupakan kumpulan dari materi-materi kuliah yang ia berikan di Akademi Plato. Karena tidak dimaksudnya untuk terbit sebagai buku, kumpulan catatan tersebut cenderung tidak runtut dan tidak tersusun dengan baik. Namun sampai sekarang ketiga buku tersebut tepat dipelajari para ahli public speaking dan dianggap sebagai referensi public speaking yang paling berpengaruh sepanjang jaman.
Ada dua asumsi dasar dalam teori Retorika yang diajukan Aristoteles. Pertama, Pembicara yang efektif harus mempertimbangkan publik mereka. Pembicara harus berorientasi pada Publik, bahwa Publik adalah individu yang memiliki motivasi, keputusan, pilihan tersendiri, bukan sebagai entitas homogen. Jadi Pembicara perlu menyesuaikan cara penyampaian sesuai kondisi publik mereka supaya publik merespons sesuai harapan pembicara. Bagi Aristoteles, publik adalah elemen retorika yang paling menentukan kesuksesan retorika, bukan elemen pembicara dan isi pembicaraan.
Baca juga: Konsep Dasar Komunikasi Antarbudaya: Pengertian, Jenis dan Contohnya
Kedua, Pembicara yang efektif memanfaatkan beragam cara pembuktian dalam presentasi mereka. Aristoteles percaya bahwa retorika harus berisi bukti-bukti agar dapat diterima oleh publik.
Terdapat tiga pembuktian yang dapat dipakai dalam retorika:
1. Logos atau logika. Pembuktian logika berisi argumen-argumen yang masuk akal, yang didapat dari penyimpulan fakta-fakta yang ada. Misalnya saja logika berikut ini:
a. Pernyataan pertama: bermain adalah hak asasi setiap anak (umum- tentang semua anak)
b. Pernyataan kedua: Adi adalah anak berusia 7 tahun (khusus-hanya tentang Adi)
c. Kesimpulan: Adi memiliki hak asasi untuk bermain.
Logika tersebut dapat dipakai dalam kampanye menghapus pekerja/buruh anak (child labour) dengan mengemukakan argumen bahwa seorang anak, walau dari keluarga tidak mampu, memiliki hak asasi untuk bermain, jadi Negara harus memastikan bahwa hak asasi tersebut terpenuhi.
Logika argumen dapat bersifat deduktif (dari umem ke khusus) seperti contoh premis di atas, dapat juga bersifat induktif. Argumen bersifat induktif misalnya dengan memberikan contoh-contoh spesifik dahulu lalu menarik kesimpulan yang lebih umum berdasarkan contoh spesifik tersebut. Contoh lain dari logika adalah sebagai berikut: Pernyataan pertama: Ada petugas hukum yang menyelewengkan hukum. Pernyataan kedua: Bapak A adalah petugas hukum.
Kesimpulan: Bapak A mungkin menyelewengkan hukum.
Jadi penarikan kesimpulan harus berdasarkan fakta, namun mengandung ketidakpastian tertentu. Retorika dapat dipakai mempengaruhi orang lain berpikir bahwa Bapak A mungkin menyelewengkan hukum, atau dapat juga mempengaruhi pikiran bahwa Bapak A mungkin tidak menyelewengkan hukum.
2. Ethos atau Etika
Retorika tidak cukup bila hanya berisi argumen- argumen logika. Pembicara juga harus terlihat memiliki kredibilitas. Kesan pertama publik terhadap pembicara tidak dimulai saat ia berbicara pertama kali, melainkan sebelumnya.
Pembicara yang terlihat meyakinkan, memiliki kredibilitas, membuat efek argumen retorika semakin kuat. Aristoteles mengidentifikasi tiga sumber kredibilitas pembicara:
a. Kecerdasan.
Pembicara yang terdengar cerdas atau tampak cerdas akan lebih memikat publik dibandingkan yang tidak. Publik akan menilai pembicara cerdas bila argumen pembicara sejalan dengan nilai atau pendapat mereka, membuat mereka berpikir "pembicara ini menyampaikan ide-ide saya" atau "ia benar, saya sependapat dengannya".
b. Karakter simpatik.
Pembicara yang dipersepsikan sebagai orang yang baik dan jujur akan lebih dipercaya oleh publik. Tokoh seperti Nelson Mandela mampu menggerakkan masyarakat Afrika Selatan menuntut penghapusan politik apartheid yang membedakan hak orang kulit hitam dan kulit putih di Afrika Selatan.
Nelson Mandela adalah korban dari politik apartheid tersebut, ia dipenjara selama 27 tahun karena ide persamaan haknya. Namun setelah ia keluar dari penjara, ia tidak mengajak rakyat kulit hitam Afrika Selatan membalas dendam kepada masyarakat kulit putih. Sebaliknya, ia justru mengajak agar kedua kelompok masyarakat berdamai untuk mencapai Negara Afrika Selatan yang sejahtera untuk semua masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan Mandela menjadi tokoh yang sangat karismatik, yang sangat dipercaya oleh masyarakat Afrika Selatan.
e. Niat baik.
Publik harus percaya bahwa retorika yang disampaikan oleh pembicara didasari niat baik, tanpa keinginan mengambil keuntungan dari publik. Selain dianggap memiliki karakter simpatik, Nelson Mandela juga dipercaya publik memiliki niat baik.
Dalam setiap retorikanya, ia tidak mengobarkan kebencian kepada kelompok kulit putih (kelompok yang diistimewakan dalam sistem apartheid) melainkan mengajak setiap kelompok, tanpa memandang warna kulit, untuk bekerja bersama membangun Afrika Selatan. Sampai saat ini, walau konflik antara kelompok kulit putih dan kulit hitam di negara tersebut belum sama sekali hilang. Afrika Selatan dipandang sebagai negara tersukses di
a. Kecerdasan.
Pembicara yang terdengar cerdas atau tampak cerdas akan lebih memikat publik dibandingkan yang tidak. Publik akan menilai pembicara cerdas bila argumen pembicara sejalan dengan nilai atau pendapat mereka, membuat mereka berpikir "pembicara ini menyampaikan ide-ide saya" atau "ia benar, saya sependapat dengannya".
b. Karakter simpatik.
Pembicara yang dipersepsikan sebagai orang yang baik dan jujur akan lebih dipercaya oleh publik.
Tokoh seperti Nelson Mandela mampu menggerakkan masyarakat Afrika Selatan menuntut penghapusan politik apartheid yang membedakan hak orang kulit hitam dan kulit putih di Afrika Selatan. Nelson Mandela adalah korban dari politik apartheid tersebut, ia dipenjara selama 27 tahun karena ide persamaan haknya. Namun setelah ia keluar dari penjara, ia tidak mengajak rakyat kulit hitam Afrika Selatan membalas dendam kepada masyarakat kulit putih.
Sebaliknya, ia justru mengajak agar kedua kelompok masyarakat berdamai untuk mencapai Negara Afrika Selatan yang sejahtera untuk semua masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan Mandela menjadi tokoh yang sangat karismatik, yang sangat dipercaya oleh masyarakat Afrika Selatan.
e. Niat baik.
Publik harus percaya bahwa retorika yang disampaikan oleh pembicara didasari niat baik, tanpa keinginan mengambil keuntungan dari publik. Selain dianggap memiliki karakter simpatik, Nelson Mandela juga dipercaya publik memiliki niat baik.
Dalam setiap retorikanya, ia tidak mengobarkan kebencian kepada kelompok kulit putih (kelompok yang diistimewakan dalam sistem apartheid) melainkan mengajak setiap kelompok, tanpa memandang warna kulit, untuk bekerja bersama membangun Afrika Selatan. Sampai saat ini, walau konflik antara kelompok kulit putih dan kulit hitam di negara tersebut belum sama sekali hilang. Afrika Selatan dipandang sebagai negara tersukses di
benua Afrika (bahkan terpilih menjadi tuan rumah Piala Dunia 2010).
Walaupun ide Aristoteles tentang kredibilitas telah disampaikan 25 abad lalu, penelitian di abad ini masih menemukan kebenaran dari ide tersebut. Penilaian publik terhadap kredibilitas pembicara akan dipengaruhi persepsi mereka apakah pembicara tersebut memiliki kecerdasan dan karakter yang dapat dipercaya.
3. Pathos atau emosi.
Retorika akan memiliki daya menggerakkan publik bila mampu menggugah emosi publik. Aristoteles mengenali bahwa orang akan menilai atau bertindak dengan cara berbeda saat dalam kondisi emosi duka dibanding saat bahagia. Saat kita senang kita akan menilai orang yang sedang diadili di pengadilan sebagai orang yang kejahatannya ringan atau tidak bersalah sama sekali. Namun saat kita marah, penilaian kita akan berbeda.
Aristoteles mengidentifikasi beberapa emosi yang bisa dimanfaatkan dalam retorika, antara lain (Griffin, 2003: 309):
a. Kemarahan.
Publik dapat dibangkitkan kemarahannya bisa diperlihatkan kejahatan yang mereka alami. Namun saat pelaku kejahatan terlihat merasa bersalah, publik akan menjadi tenang. b. Cinta atau persahabatan. Publik dapat dibangkitkan rasa cintanya, rasa ingin melindungi orang-orang yang mereka cintai supaya bergerak melakukan apa yang diinginkan oleh Pembicara.
e. Ketakutan.
Rasa takut juga dikenali sebagai emosi yang mampu menggerakkan orang melakukan beragam hal secara yang berbeda dibanding bila ketakutan itu tidak ada. Misalnya dengan membayangkan adanya ancaman bencana atau tragedi dapat menimpa kita.
d. Rasa malu.
Rasa ini dapat muncul bila suatu peristiwa terjadi karena kesalahan kita, terutama bila kesalahan tersebut diungkap di depan keluarga, teman, atau orang-orang yang kita kagumi.
e. Kejengkelan.
Kita semua memiliki rasa keadilan. Saat kita melihat ada pihak yang lemah yang dirugikan atau diperlakukan tidak adil, rasa jengkel akan mudah muncul. Rasa jengkel ini dapat dibangkitkan supaya publik melakukan sesuatu.
f. Kekaguman.
Kita biasanya mengagumi nilai moral yang baik, kekuasaan, kekayaan, dan kecantikan. Misalnya saja, rasa kagum akan lebih mudah muncul saat kita mengetahui bahwa seseorang memperoleh harta kekayaannya berkat kerja keras bertahun-tahun. bukan dengan cara menang lotre.
Sampai saat ini emosi-emosi seperti yang diuraikan Aristoteles terbukti masih dapat menggerakkan publik saat proses public speaking. Misalnya saja pembicara ingin publik melakukan gerakan anti korupsi, maka si pembicara akan menggunakan contoh hukuman ringan diterima seorang koruptor miliaran rupiah dibandingkan hukuman berat yang diterima oleh seorang ibu tua yang dituduh mencuri beberapa butir buah kakao, Rasa cinta pada anak dan cucu dibangkitkan dalam kampanye hemat air bersih supaya kita memakai air dengan bijak saat ini karena air bersih sudah semakin berkurang di bumi, yang kalau dibiarkan terus akan membuat anak dan cucu kita kekurangan atau bahkan kehabisan air bersih.
Menurut Aristoteles cara-cara pembuktian di atas dapat dimanfaatkan dalam situasi yang berbeda. Ia membagi situasi tersebut menjadi tiga tipe: Pertama, forensik atau yudisial, menyangkut kepentingan untuk menentukan benar atau salahnya suatu hal yang terjadi pada masa lalu. Sesuai dengan namanya, situasi retorika ini banyak dijumpai dalam pengadilan.
Tipe kedua adalah deliberative atau politik menyangkut kepentingan untuk menentukan apakah suatu hal harus dilakukan atau tidak perlu dilakukan demi masa depan. Situasi kedua lebih banyak kita temukan dalam pertemuan politik. Sedang tipe ketiga adalah epidetik atau seremoni menyangkut pujian atau kecaman mengenai hal yang terjadi sekarang. Situasi ketiga banyak ditemukan dalam upacara atau acara sosial.
C. LIMA HUKUM RETORIKA
Tulisan-tulisan Aristoteles menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah di Yunani dan membawa pengaruh besar bagi para pembicara di depan publik pada masa tersebut.
Pada saat Romawi menguasai Yunani, pemikiran para guru dan filsuf Yunani diadopsi oleh Romawi. Salah satu yang orator Yunani yang kemudian menjadi orator Romawi yang paling terkenal adalah Cicero (106-43 SM). Ia berusaha memopulerkan retorika dengan menerjemahkan
berbagai tulisan tentang retorika dalam bahasa Yunani ke bahasa Latin (yang dipakai Romawi).
Cicero percaya bahwa seorang pembicara tidak hanya mempelajari materi yang akan ia bawakan tetapi juga konteks sosial kemasyarakatan dari materi tersebut. Misalnya saja saat seorang pembicara membahas tentang puisi atau tulisan tertentu, ia tidak hanya membahas tentang puisi tulisan itu saja tapi juga pengaruh puisi/tulisan terse but bagi kehidupan budaya dan politik masyarakat. Jadi seorang pembicara harus memiliki wawasan yang luas tentang semua bidang kehidupan: budaya, politik, hukum, literatur, etika, pengobatan, bahkan matematika.
Cicero merumuskan lima hukum retorika (the five canons of rhetoric) yang ia ajarkan di sekolah miliknya. Selama berabad-abad kelima hukum tersebut menjadi landasan instruksional penyusunan retorika, bahkan sampai saat ini. Kelima hukum tersebut terdiri dari:
1. Penemuan (inventio).
Istilah yang dipakai ini dapat membingungkan karena memiliki arti berbeda dengan kata invensi/temuan yang kita kenal dalam ilmu pengetahuan. Bagi Cicero penemuan merupakan tahap menggali topik dan merumuskan tujuan yang sesuai dengan kebutuhan publik. Tahap ini berhubungan erat dengan konsep logika (logos) dalam tiga pembuktian retorika yang telah kita bahas di atas. Dalam tahap ini pembicara merancang isi argument, mempertimbangkan pro-kontra dalam topik-topik yang ia bawakan, serta menyesuaikan argumen dengan situasi publik.
2. Pengaturan/penyusunan (dispositio).
Kita perlu menyusun argumentasi yang sederhana. Pertama dengan menyebutkan subyek argumen kita dan kedua dengan memberikan bukti-bukti yang mendukung argumen tersebut. Aristoteles membagi strategi organisasi retorika menjadi tiga tahap: introduksi, isi, dan kesimpulan. Bagian introduksi/pendahuluan harus menarik perhatian publik, meningkatkan kredibilitas, dan menjelaskan tujuan retorika, serta hubungan antar bagian retorika. Lalu
dilanjutkan dengan bagian isi. Isi meliputi semua argument, fakta pendukung, serta contoh-contoh untuk memperjelas argumen. Bagian kesimpulan harus mengingatkan publik apa yang telah mereka dengar dan membangkitkan emosi publik.
3. Gaya (elucutio).
Hukum retorika yang satu ini menyangkut pemilihan bahasa yang dipakai, termasuk istilah yang dipakai serta kepantasan. berbahasa.
Bila kita berbicara di depan remaja, kita dapat menggunakan bahasa pergaulan para remaja tersebut untuk menciptakan kedekatan dengan publik. Namun bila berhadapan dengan publik lain, kita perlu menyesuaikan pemilihan bahasa dengan publik tersebut. Aristoteles menyarankan penggunaan metafora untuk memperkuat efek pesan yang disampaikan, untuk mengajak publik membayangkan apa yang kita sampaikan. Misalnya ketika mengajak publik mengurangi pemakaian kantong plastik, kita dapat mengatakan:
"Plastik diperkirakan membutuhkan waktu 100 hingga 500 tahun hingga dapat terurai dengan sempurna. Bayangkan bahwa tidak hanya anak dan cucu kita yang mengalami dampaknya, melainkan lima generasi kehidupan setelah kita"
4. Ingatan (memoria).
Aristoteles berpendapat bahwa Pembicara harus hafal pesan yang disampaikannya. Hal ini tidak lagi relevan pada masa sekarang karena sering kali kita dapat menggunakan alat bantu seperti catatan atau powerpoint. Namun hukum tentang ingatan dalam retorika pada masa ini dapat mengacu pada keharusan bagi pembicara memiliki ingatan/pengetahuan tentang subyek atau materi yang disampaikan.
5. Penyampaian (pronuntiatio)
mengacu pada presentasi materi retorika secara nonverbal. Penyampaian menyangkut perilaku pembicara, termasuk kontak mata, mimik wajah, naik-turun nada suara, cepat- lambat berbicara, dan sebagainya. Penyampaian harus terasa alami. Bila dibuat-buat atau dimanipulasi justru pesan public speaking tidak akan meyakinkan publiknya.
Jadi walaupun yang merumuskan kelima hukum retorika di atas adalah Cicero, pengaruh Aristoteles dalam pemikiran Cicero jelas terlihat.
Cicero juga meninggalkan banyak buku dan tulisan yang berpengaruh terhadap retorika masa kini. Pada awal kariernya sebagai pengacara, Cicero lebih banyak mengembangkan pemikiran dalam bentuk surat atau naskah pidato. Ia sibuk mengejar popularitas politik, menjalin hubungan baik dengan banyak politisi berpengaruh, hingga mencapai kedudukan sebagai anggota senat.
Pada masa itu senat tidak memiliki otoritas tinggi, hanya dapat menawarkan ide atau saran, tapi saran tersebut biasanya diikuti oleh para politisi. Namun kesuksesan politiknya ini mengalami pasang surut, bahkan diasingkan secara politik, karena perubahan penguasa, mulai Julius Caesar, Marc Anthony, hingga Octavian (yang akan lebih dikenal sebagai kaisar Agustus).
Baca juga: Definisi Public Speaking dan Elemen-Elemen dalam Komunikasi Publik
Saat ia mengalami pengasingan politik Cicero mengembangkan pemikirannya dalam bentuk buku. Sayangnya, banyak tulisan Cicero yang musnah atau tidak lengkap. Namun para ahli public speaking yang mempelajari pemikiran Cicero menemukan bahwa surat-surat dan naskah pidato yang ia tulis tidak dapat mencerminkan apa yang sungguh diyakini ataupun pemikiran orisinal Cicero. Karena ditulis dengan kepentingan politik tertentu, tulisan-tulisan tersebut banyak berisi pujian, persuasi, argumen, yang tidak selalu konsisten satu sama lain.
Kelima hukum retorika di atas terdapat dalam buku On Invention yang ditulis Cicero sewaktu masih muda. Dalam buku On the Orator, Cicero menuliskan pemikirannya tentang hubungan antara hukum, filosofi, dan retorika. Ia menempatkan retorika di atas filosofi dan hukum dengan argumentasi bahwa pembicara retorika yang baik seharusnya sudah menguasai filosofi dan hukum.
Orator terbaik seharusnya adalah manusia terbaik yang paham akan cara hidup yang benar dan memberi tahu orang lain tentang cara hidup tersebut melalui pidato-pidatonya, contoh hidupnya, dan merancang hukum yang baik.
Dalam Brutus, Cicero membuat daftar orator-orator terkenal Yunani dan Romawi, disertai penilaiannya akan keunikan karakter mereka, serta keunggulan dan kelemahan mereka. Dalam buku tersebut Cicero menekankan bahwa orator yang baik harus "memerintah pendengar, memberi kesenangan, dan menggugah emosinya".
Namun berlawanan dengan pemikiran sebelumnya bahwa orator yang baik seharusnya manusia terbaik, dalam buku ini Cicero juga mengatakan bahwa seorang orator harus diperbolehkan "membiaskan sejarah (misalnya berbohong) untuk memberi penekanan pada narasi mereka (Clayton dalam http://www.iep.utm.edu/cicero/). Masih banyak lagi buku-buku Cicero yang lain, terutama menyangkut retorika, filosofi dan hukum karena selama diasingkan secara politik ia dilarang untuk menulis tentang politik. Walau tidak semua relevan untuk masa sekarang ini, buku-buku Cicero tetap menjadi bahan studi berharga bagi kita yang mempelajari public speaking.
D. PERKEMBANGAN PUBLIC SPEAKING SETELAH ERA YUNANI KUNO
Perkembangan kebudayaan dan perdagangan Yunani Kuno menyebabkan pemikiran dan ajaran retorika ini menyebar ke berbagai penjuru kota-kota lainnya. Saat Romawi menjajah Yunani, pemikiran ini diadopsi oleh masyarakat Romawi dan disebarluaskan bersamaan dengan ekspansi kerajaan Romawi ke seluruh dunia, terutama Eropa.
Pada abad pertengahan (mengacu pada abad ke-5 sampai 15 di Eropa). retorika diajarkan di universitas-universitas di Eropa sebagai pelajaran pokok, bersama dengan logika dan struktur bahasa. Kebangkitan monarki Eropa menyebabkan kebebasan berbicara di depan publik berkurang. mendorong pemanfaatan retorika terbatas dalam upacara keagamaan serta penyebaran agama Kristen di Eropa. Retorika dipelajari oleh lembaga- lembaga agama karena keterampilan ini bermanfaat dalam menyebarluaskan ajaran agama ke berbagai wilayah.
Perkembangan seni dan budaya, serta sistem negara yang tidak demokratis, mendorong pemikiran atau ide dituangkan tidak dalam bentuk retorika tutur (seni berbicara lisan) seperti pidato politik, melainkan dalam bentuk tulisan berupa cerita, puisi, surat-surat korespondensi, atau bahkan lukisan.
Struktur berpikir serta keterampilan memilih kata yang banyak dimanfaatkan dalam retorika lisan juga ternyata sangat bermanfaat bagi retorika tertulis pada abad pertengahan tersebut.
Perkembangan ilmu pengetahuan juga mendorong penggunaan retorika untuk menyebarkan ilmu tersebut. Namun berbeda dengan retorika klasik Yunani yang penuh gaya, retorika ilmu pengetahuan menggunakan bahasa yang lugas, menekankan pada fakta, serta tidak banyak memakai metafora. Keindahan retorika tidaklah penting, yang penting adalah isi keilmuannya.
Pada abad 18 dan 19, beragam klub debat dan diskusi bermunculan di Eropa dan di Amerika sehingga kemampuan berbicara di depan publik kembali berkembang di kalangan masyarakat awam, bukan hanya kaum bangsawan atau rohaniwan. Revolusi Kemerdekaan di Amerika Utara (berlangsung dari 1775 sampai 1777 yang menghasilkan negara Amerika Serikat) dan Revolusi Prancis di Eropa (berlangsung pada 1789-1799 mendorong berakhirnya bentuk kerajaan di Prancis) menginspirasi perubahan sistem politik di berbagai negara di Eropa dan Amerika. Pertumbuhan sistem politik demokrasi kembali mendorong berkembangnya praktik public speaking, seperti yang terjadi pada masa Yunani Kuno.
Mereka yang mempelajari public speaking pada masa itu kembali belajar tentang berbagai hukum retorika yang diidentifikasi Cicero dan tokoh retorika lainnya. Stadi terhadap public speaking mulai dilakukan di beberapa universitas terkenal, seperti Universitas Harvard di Amerika Serikat.
Pada abad 20 dan 21 retorika dan public speaking berkembang menjadi mata kuliah atau mata pelajaran yang diberikan di sekolah menengah atau di universitas. Prinsip-prinsip yang diajarkan sejak masa Yunani Kuno seperti ethos/etika, logos/logika, dan pathos/emosi masih diajarkan sampai sekarang. dengan penyesuaian dengan kondisi jaman. Reputasi public speaking semakin tumbuh setelah munculnya Ilmu Komunikasi yang diajarkan di berbagai universitas. Public speaking semakin berkembang dalam bidang pemasaran, periklanan, politik, dan literatur
Perkembangan media komunikasi saat ini juga menuntut penyesuaian dalam public speaking. Keberagaman budaya masyarakat dunia, kemudahan menjangkau orang-orang di bagian dunia mana pun, serta pertumbuhan teknologi mengubah wajah public speaking saat ini. Istilah publik dalam public speaking juga berkembang tidak hanya mengacu pada orang-orang yang kita temui secara langsung, dalam sebuah ruangan yang sama, seperti praktik public speaking konvensional. Publik dalam public speaking modern juga dapat meluas menjadi mereka yang mendengarkan pesan kita melalui media seperti radio, televisi, bahkan internet.
Saat melakukan public speaking dengan media radio, gerak tubuh tidaklah penting, yang penting adalah pilihan kata, intonasi, cepat-lambat pengucapan, dan sebagainya. Saat menggunakan media televisi pandangan mata menjadi penting.
Baca juga: Cara Mengatasi Demam Panggung Saat Public Speaking
Publik yang menonton televisi ingin supaya pembicara sedang bercakap-cakap langsung dengan mereka. Karena itu, pembicara sering dianjurkan untuk memandang langsung ke kamera seakan sedang menatap mata orang ia ajak bicara, seperti yang sering kita lakukan dalam percakapan tatap muka. Internet memungkinkan PS yang kita lakukan dilihat oleh orang-orang dari berbagai belahan dunia tanpa dibatasi oleh waktu karena data PS kita terekam dalam ruang penyimpanan komputer.
Public speaking juga tidak lagi hanya terbatas pada komunikasi verbal menggunakan suara dan kata-kata, tapi juga melalui foto, tulisan, simbol, film, lukisan, bahkan arsitektur bangunan, yang sekarang dikenal sebagai retorika visual. Retorika visual sangat mengandalkan komunikasi nonverbal.
Misalnya saja sebuah iklan minuman ringan menampilkan sekelompok remaja yang bermain sepeda, tertawa sambil meminum produk yang diiklankan. Imaji tersebut berusaha mempengaruhi kita bahwa bila kita meminum produk tersebut, kita akan sehat dan bahagia seperti pada remaja tersebut.
Berbeda dengan desain grafis yang mementingkan keindahan sebuah karya grafis, retorika visual mementingkan pesan komunikasi yang hendak disampaikan oleh grafis tersebut. Kehadiran media internet sangat membantu penyebarluasan retorika visual tersebut karena kemampuannya menyalurkan data dalam bentuk tertulis maupun gambar, bahkan video. Terlepas dari bentuk simbol yang dipakai, mulai dari kata-kata hingga bentuk visual, public speaking terus berkembang menjadi sebuah keterampilan yang penting untuk dikuasai pada masa ini.
E. CONTOH TOKOH-TOKOH Public Speaking ABAD 20 DAN 21
Retorika sebagai seni berbicara di depan publik juga mengabadikan nama-nama besar di sepanjang abad 20 dan 21. Dari penelusuran berbagai
situs internet, kita dapat menemukan beragam nama yang dianggap sebagai pembicara PS yang hebat. Walau bersifat pro-kontra akan posisi mereka (apakah nomor 1 atau nomor 10), berikut beberapa tokoh yang diakui sebagai pembicara yang mengubah dunia:
1. Winston Churchill, Perdana Menteri Inggris pada masa Perang Dunia II saat menyemangati rakyat Inggris:
"Never give in, never give in, never, never, never, never in nothing. great or small, large or petty never give in except to convictions of honor and good sense."
Jangan pernah mengalah, jangan pernah mengalah, jangan; jangan; jangan; jangan apa pun, kecil atau besar- jangan pernah mengalah kecuali untuk kehormatan dan akal sehat).
"To build may have to be the slow and laborious task of years. To destroy can be the thoughtless act of a single day."
(Membangun mungkin harus perlahan dan kerja keras bertahun-tahun. Menghancurkan dapat dilakukan tanpa pemikiran dalam satu hari).
2. John F. Kennedy, Presiden ke-35 Amerika Serikat
"Ask not what your country can do for you, ask what you can do for your
(Jangan tanya apa yang dapat Negara berikan padamu, tetapi tanya apa yang dapat kamu berikan pada Negara).
Video dapat dilihat di http://www.youtube.com/watch?v=JLdAlikko "Mankind must put an end to war or war will put an end to mankind." (Manusia harus mengakhiri perang atau perang akan mengakhiri umat manusia)
3. Charles de Gaulle, Ketua Pemerintahan Sementara Prancis pada masa Perang Dunia II & Presiden Prancis ke-18.
"France has lost the battle but she has not lost the war."
(Prancis telah kalah dalam pertempuran, tapi tidak kalah dalam perang). "How can you govern a country which has 246 varieties of cheese?" (Bagaimana kau memerintah sebuah negara yang memiliki 264 macam keju?)
4. Martin Luther King, Jr.
Pemimpin kelompok kulit hitam Amerika Serikat yang memperjuangkan kesetaraan antara kelompok kulit hitam dan kulit putih di Amerika:
"I have a dream that one day this nation will rise up and live out the true meaning of its creed: "We hold these truths to be self-evident: that all men are created equal."
(Saya memiliki impian bahwa suatu hari bangsa ini akan bangkit dan hidup dalam kebenaran keyakinan ini: "Kami pegang kebenaran ini menjadi jelas: semua manusia diciptakan setara").
Video dapat dilihat di http://www.youtube.com/watch?v=3X_917S+PVc
5. Mahatma Gandhi, Pemimpin kemerdekaan India:
"The Roots of Violence: Wealth without work, Pleasure without conscience, Knowledge without character, Commerce without morality. Science without humanity, Worship without sacrifice, Politics without principles."
(Akar dari kekerasan: harta tanpa kerja, kesenangan tanpa suara hati, pengetahuan tanpa karakter, dagang tanpa moralitas, ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan, ibadah tanpa pengorbanan, politik tanpa prinsip). "Happiness is when what you think, what you say, and what you do are in harmony."
(Kebahagiaan adalah ketika apa yang kau pikir, apa yang kau katakan, dan apa yang kau lakukan berada dalam keselarasan)
6. Sukarno,
Presiden 1 Indonesia yang pidatonya dikenal dapat membuat publiknya berapi-api:
"Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarya, berikan aku 1 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia" "Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!
RANGKUMAN MATERI MODUL 1 PUBLIC SPEAKING UT EDISI 2
Sejarah public speaking dalam bentuk retorika dapat ditelusuri sampai 2285 SM pada masa Mesopotamia Kuno, Mesir Kuno, hingga China Kuno yang peradabannya menghargai kemampuan berbicara secara efektif. Namun dokumentasi sejarah retorika terlengkap di dapat pada masa Yunani Kuno.
Di masa demokrasi awal di Yunani Kuno, retorika sangat dirasakan manfaatnya dalam pertemuan politik untuk mempengaruhi kebijakan, dalam pengadilan untuk mempengaruhi keputusan hakim, bahkan di tempat umum demi kemasyhuran pribadi.
Munculnya kelompok Sofis, guru retorika yang berkelana dari satu kota ke kota lain, menyebabkan retorika dipelajari secara lebih luas di masyarakat. Bila sebelumnya hanya kaum bangsawan yang dapat menguasai retorika, setelah adanya guru retorika siapa pun yang bisa membayar dapat belajar retorika.
Guru Sofis yang terkenal, Gorgias, yakin bahwa pembicara yang sungguh ahli dapat berbicara tentang topik apa pun secara meyakinkan, terutama melalui pemilihan kata-kata dan cara penyampaian yang memesona. Isocrates, guru Sofis yang lain, percaya bahwa praktik retorika dapat membawa perubahan politik yang meningkatkan kualitas masyarakat.
Plato mengecam para Sofis karena tidak memedulikan isi retorika yang mereka sampaikan. Bagi Plato, retorika hanyalah kata-kata memesona yang hampa.
Aristoteles juga tidak setuju dengan retorika yang tidak mengandung kebenaran, tapi ia dapat melihat bahwa retorika sebenarnya sebuah cara persuasi yang sangat kuat yang bisa membawa kemaslahatan pada masyarakat. Syaratnya, harus ada etika yang kuat dari pembicara. Bagi Aristoteles persuasi harus dilakukan dengan retorika, bukan dengan saap, ancaman, atau siksaan seperti praktik yang lazim pada masa itu.
Aristoteles bahkan menyusun tulisan tentang retorika yang diterbitkan menjadi tiga buku: tentang Pembicara, tentang Publik, dan tentang kehadiran dalam retorika. Dari ketiganya, publik adalah elemen terpenting.
Aristoteles merumuskan tiga cara pembuktian yang harus dipakai pembicara retorika, yaitu logos/logika yang menyangkut argument factual, ethosfetika yang menyangkut kredibilitas pembicara (dapat bersumber dari kecerdasan, karakter simpatik, dan niat baik), serta pathos emosi menyangkut kemampuan menggugah emosi publik. Aristoteles bahkan mengidentifikasi beberapa emosi dasar yang dapat dimanfaatkan dalam retorika: marah, cinta, takut, malu, jengkel, dan kagum. Kita dapat melihat bahwa pemikiran Aristoteles masih relevan sampai sekarang.
Ajaran Aristoteles juga berpengaruh terhadap Cicero, seorang orator terkenal pada masa Yunani Kuno. Cicero percaya bahwa seorang orator harus memiliki pengetahuan yang komprehensif, tidak hanya menyangkut topik retorikanya tapi juga situasi publik yang dihadapinya.
Cicero merumuskan lima hukum retorika (the five canons of rhetoric) yang masih dipelajari hingga kini. Hukum pertama adalah Inventiolpenemuan yaitu tahap merumuskan tujuan sesuai kebutuhan publik dan merumuskan argument-argument. Hukum kedua disposition/penyusunan adalah tahap mengatur argumen agar dipahami oleh publik dalam tiga bagian: introduksi, isi, dan kesimpulan.
Hukum ketiga adalah elucutiofgaya menyangkut cara menyampaikan retorika, seperti pilihan bahasa sesuai dengan publik. Hukum keempat memorialingatan mengacu pada pendapat Aristoteles bahwa pembicara harus menghafal isi retorikanya.
Baca juga:Perbedaan dan Persamaan Public Speaking dan Percakapan
Pada masa sekarang hukum ini dikembangkan menjadi keharusan bagi pembicara memiliki pengetahuan cukup tentang topik yang ia bawakan. Hukum terakhir adalah pronuntiatio/penyampaian mengacu pada presentasi materi secara nonverbal seperti nada suara, raut wajah, dan sebagainya.
Setelah kejayaan masa Yunani Kuno berakhir, retorika tetap berkembang melalui imperialisme Romawi, terutama ke Eropa. Saat agama memegang peranan penting dalam negara dan berkembangnya sistem monarki, retorika lebih banyak dipakai dalam upacara dan penyebaran agama.
Setelah kebangkitan ilmu pengetahuan, retorika banyak dipakai untuk menyebarluaskan ilmu walau dengan cara yang lebih lugas, tidak sebergaya retorika klasik Yunani.
Retorika kembali dipelajari oleh masyarakat awam setelah sistem demokrasi di banyak negara tumbuh, terutama di Eropa dan di Amerika. Retorika dan public speaking menjadi pelajaran di banyak sekolah menengah dan universitas, terutama setelah munculnya Ilmu Komunikasi.
Perkembangan publik di abad 21 ini masih berlangsung hingga tidak lagi terbatas pada retorika dengan kata-kata, tapi juga retorika visual melalui simbol-simbol lain seperti foto, film, atau arsitektur bangunan. Kemampuan persuasi public speaking membuatnya tetap dipelajari orang hingga sekarang.
Sampai abad 21 kita masih bisa menemukan banyak tokoh yang berhasil mengubah dunia berkat kemampuan retorika mereka seperti Winston Churchill, John F. Kennedy, Charles de Gaulle, Martin Luther King Junior, Mahatma Gandhi, dan Sukamo.
Tag: Apa itu retorika menurut Aristoteles? Apa yang dimaksud dengan ethos pathos dan logos dalam retorika Aristoteles? Retorika teori siapa? Siapa guru retorika pertama yang menyarankan Keberan suatu pendapat hanya dapat dibuktikan dengan tercapai kemenangan dalam pembicaraan?