Stereotype seni sebagai citra pariwisata di Bali telah mengakar begitu kuat sehingga kesenian hanya dipandang sebagai komoditi untuk menarik minat para wisatawan untuk menikmati cita rasa Bali, baik itu berupa seni pertunjukan ataupun seni visual. Namun dibalik apresiasi orang luar tersebut terhadap estetika seni dan kecakapan seniman dalam menciptakan karya, masyarakat Bali menyimpan sejumlah permasalahan sosial ketika menggantungkan diri dengan perekonomian pariwisata dan industrialisasi yang mulai berkembang di Bali.
Bali memang pernah menjadi primadona dunia Internasional dengan julukan pulau dewata sehingga arus wisatawan asing menjadi begitu pesat dan memberikan banyak keuntungan bagi masyarakat Bali. Akan tetapi, peristiwa bom Bali pada tahun 2002 telah menjadi catatan lain akan sejumlah tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di Bali. Peristiwa tersebut tidak hanya berdampak pada kelesuan perekonomian semata, namun berdampak pula pada perubahan pola pikir masyarakat menjadi semakin etnisentris dan kerap menaruh kecurigaan terhadap pendatang atau orang dari luar Bali.
Di sisi lain para wisatawan asing masih dinanti kehadirannya di Bali dengan harapan bisa mengulang kejayaan bisnis pariwisata pra bom Bali meski ada banyak sekali dari mereka akhirnya menetap kemudian membeli lahan masyarakat dan turut mencari makan di Bali dengan membangun hotel, resto atau villa dan bahkan mengintervensi kebudayaan secara perlahan atas nama globalisasi.
Sudahkah kita mencermati wajah Bali saat ini? Kesenian di mata masyarakat Bali masih berjalan sebagaimana mestinya sebagai kebutuhan estetik dan juga sakral. Meski beberapa kesenian yang sifatnya sakral, dimana pada awalnya ditujukan sebagai persembahan ritual keagamaan akhirnya menjadi profan dan dipandang sebagai alat komoditi pariwisata. Tak sedikit masyarakat yang mempersoalkan dan menyampaikan kritik mengenai desakralisasi kesenian misalnya barong brutuk, tari janger meborbor dari Bangli yang pernah dipentaskan di Taman Budaya ketika perhelatan PKB (Pesta Kesenian Bali) pada tahun 1994 misalnya. “Namun para anggota sekaa janger itu tenang-tenang saja. Mereka tak peduli pada debat seni sakral dan profan. Mereka berkomentar, sudah saatnya kesenian khas mereka dipertontonkan agar sebanyak mungkin orang tahu.”( Soethama, Aryantha Gde, 2003).
Perubahan Bali bisa dilakukan oleh orang Bali dengan menegaskan kembali tonggak sikap, pemikiran dan kritisisme terhadap dinamika sosial dan masyarakat. Dalam kaitannya dengan sejarah seni rupa Bali, kontribusi pelukis Eropa pada tahun 1930an sedang melancong ke Bali seperti Rudolf Bonnet yang memberikan pengaruh Barat pada seni lukis tradisional, tidak hanya dari segi teknis namun memberikan pemahaman kepada para pelukis Bali untuk mengkomersilkan karya mereka selain sebagai persembahan untuk upacara keagamaan. Tidak hanya itu, Walter Spies juga menciptakan tari kecak yang berhasil menjadi penanda dunia yaitu sebagai salah satu eksotika Bali yang harus dilihat dan dinikmati.
Tokoh-tokoh ini kerap digrolifikasi dalam catatan sejarah kebudayaan sebagai pembawa perubahan di Bali. Pengaruh kolonial dalam segala lini kebudayaan dengan mulai mengembangkan progresifitas kesenian dan turisme barangkali setidaknya membuat masyarakat Bali terlena akan stagnansi kesenian yang dianggap adiluhung. Kemudian sekitar tahun 1938 lahirnya organisasi PERSAGI (Persatuan Ahli-Ahli Gambar Indonesia) di Jakarta, sebagai langkah politis seniman lukis Indonesia untuk memformulasikan identitas keseniannya dengan spirit nasionalisme dan ke-Indonesiaan-an. Pada masa itu karya-karya seni lukis yang muncul kerapkali menggambarkan penderitaan, kemiskinan dan situasi sulit yang dialami bangsa Indonesia dalam masa penjajahan Belanda. Karya-karya dari seniman anggota PERSAGI kerap ditolak dalam ruang-ruang pameran yang pada masa itu lukisan pemandangan alam dan lanskap alam Indonesia sedang menjadi primadona oleh pelukis-pelukis asing dan pelukis elit Indonesia. Tercatat seorang pelukis dari Bali bernama Nyoman Ngendon yang tergabung juga dalam organisasi ini menyatakan sikapnya yang anti kolonial. Namun usia keseniannya tidak begitu panjang karena Ngendon gugur ketika menjadi pejuang kemerdekaan.
Sejarah yang selama ini diwariskan dan kita terima begitu saja perlu dikritisi oleh para seniman dan intelektual muda Bali dengan meletakkan kesadaran dan selalu mempertanyakan dan melakukan riset terhadap hal-hal yang luput dari pembacaan besar sejarah, kemudian menimbang relevansinya dengan fenomena masa kini. Menyatakan sikap politik ditengah masyarakat yang cenderung apatis terhadap kekacauan sosial, bencana dan konflik negara, tentu bukan perkara ringan untuk mengajak masyarakat dalam menyatakan dan menganut ideologi tertentu sebagai moda menuju adanya demokrasi. Terlebih lagi dalam kondisi politik hari ini masyarakat tidak melihat dengan jernih mengenai pergerakan isu dan kebijakan bahkan larut dalam pertentangan serta perpecahan yang memanfaatkan isu-isu SARA.
Dalam sejarah panjang perpolitikan di Indonesia, meski kesenian seolah-olah menjadi dimensi yang berbeda dan tidak signifikan, para seniman tetap mempunyai peran penting dalam menyuarakan kritik terhadap pemerintah. Pada masa orde baru hingga reformasi 1998, kesenian dan aktivisme menjadi sebuah kesatuan dan spirit atau ideologi yang diperjuangkan oleh para seniman seperti Semsar Siahaan, Arahmaiani, Dadang Christanto, Fx Harsono, hingga kelompok Taring Padi. Seniman pada masa itu mengalami represi yang dilakukan oleh rezim otoriter yang membatasi kebebasan dalam berekspresi, terutama yang berkaitan dengan isu-isu politik. Situasi tersebut mengakibatkan kekacauan yang ditandai melalui pembredelan media massa, pembatasan terhadap acara-acara kesenian yang dianggap politis, hingga cap sebagai pembangkang negara yang disematkan kepada sejumlah seniman. Yang kemudian mendorong mereka untuk melahirkan karya-karya yang sarat akan muatan politik, kritik kepada penguasa dan perjuangan akan isu-isu kemanusiaan.
Namun setelah reformasi 98 mencapai klimaks, terjadi lompatan besar terhadap situasi sosial yang juga mempengaruhi generasi hari ini. Seniman muda kerap kali kebingungan untuk apa dan siapa mereka berkarya, jika bukan untuk menyambung hidup dengan karya seninya. Mereka lahir pada masa yang sudah relatif membaik dan tidak secara langsung mengalami kekacauan politik. Akibatnya, seni dan aktivisme berjalan dengan metodenya sendiri dan tidak berkaitan satu sama lain. Seniman cenderung menciptakan karya yang sifatnya dekorasi dan tidak menyampaikan muatan pesan apapun dalam karyanya atau yang sifatnya menyampaikan permasalahan personal dan tidak berkaitan langsung dengan perubahan sosial.
Seni Sebagai Ruang Negosiasi Sosial Dan Politik seniman-seniman yang tidak hanya berfokus pada karya dinding galeri. Partisipasi aktif seorang seniman dalam memberikan konteks dan pesan pada karya mereka sekaligus mendorongnya berkontribusi dalam masyarakat sehingga berdampak pada psikologis sosial, ekonomi dan politik itu sendiri. Kesenian sangat mungkin untuk menjadi ruang negosiasi politik terhadap berbagai persoalan sosial yang terjadi. Tinggal seberapa jauh, seniman dan masyarakat dapat saling berbagi peran dalam setiap potensi kehidupan yang ada.